by

Pemulihan KBU, Perlu Pendekatan Multidimensi

Kabarbhayangkara/ BANDUNG -* Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat mendorong semua stakeholders duduk satu meja lagi untuk memulihkan kondisi Kawasan Bandung Utara (KBU) yang saat ini sedang kritis. Forum bersama ini tidak dilakukan sekadar seremonial dan formalitas, tapi dengan kualitas dan intensitas tinggi.

Demikian terungkap dalam Jabar Punya Informasi (Japri) di Lobi Museum Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (10/12/19). Japri yang untuk kesekian kalinya ini mengambil tema “Pemulihan Fungsi Lahan Kawasan Bandung Utara”.

Hadir sebagai narasumber Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Epi Kustiawan, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Hendy Jatnika, serta Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Tirtoyuliono. Japri dihadiri para jurnalis, perangkat daerah, dan pegiat lingkungan.

Terungkap, KBU memasuki fase kritis sebagai dampak pembangunan yang bergeser ke wilayah atas seiring pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Selain untuk perumahan, kawasan komersial, serta lahan pertanian, KBU pun dipergunakan untuk aktivitas pertambangan.

Status lahan pun menjadi kendala dalam pemulihan. Pemdaprov Jabar relatif mudah memulihkan lahan atas milik warga setempat. Namun berbeda ketika harus warga yang bukan asli setempat tapi memiliki banyak lahan di KBU.

Di sektor pertanian, saat ini ada 14.600 hektare lahan kritis di KBU. Sementara di sektor kehutanan 3.500 hektare lahan kritis. Sementara tidak terhitung lahan untuk permukiman dan kawasan komersial.

“Dulu tahun 80-an tidak ditemukan ada pertanian di lereng gunung. Tapi sekarang dengan penduduk yang bertambah banyak, pertani terdesak ke lereng gunung. Ini karena desakan kita juga. Kita makan sambal, cabainya berasal dari hasil pertanian tidak ramah lingkungan,” ujar Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Hendy Jatnika.

Menurut Hendy, tantangan terberat saat ini adalah mengubah mindset petani yang tua-tua agar menghentikan pola tanam yang salah. Petani di KBU tidak memiliki kearifan lokal yang bersifat memuliakan alam, tidak seperti di Panyaweuyan, Kabupaten Majalengka, di mana lahan sayur di sana menggunakan teknik terasering bangku.

“Kalau di KBU itu tidak ‘ngais pasir’ dan ‘gelar kampak’. Ngais pasir itu sejajar kontur tidak boleh motong kontur tanah, gelar kampak permukaannya menjorok ke dalam, jadi air tidak tumpah ke bawah,” kata Hendy.

Para petani KBU, lanjut Hendy, tidak menyukai pola tanam terasering karena tidak memiliki biaya untuk membuatnya. Biaya untuk membuat terasering bangku di atas lahan 1 hektare dengan tingkat kemiringan 30 derajat dibutuhkan sekitar Rp40-50 juta.

“Petani tidak mampu, makanya mereka meminta bantuan ke Pemdaprov Jabar. Tapi kita tidak dapat memberikan begtu saja. Yang dapat kita berikan adalah model terasering yang seharusnya dilakukan, ini lho seperti ini. Tahun depan insyallah ada 20 hektare model terasering di Cimenyan, sudah ada warga yang mau,” jelas Hendy.

Dinas Pertanian telah melakukan berbagai upaya, di antaranya dengan mendidik 100 petani millenial agar memiliki pengetahuan bertani yang lebih ramah lingkungan. “Kebanyakan anak-anak petani atau petani yang baru mulai kami didik. Target sendiri 1.000 petani millenial,“ sebut Hendi.

Koordinasi dengan lembaga vertikal BUMN seperti Perhutani dan PTPN pun tidak dipungkiri menjadi tantangan tersendiri. “Kalau lahan milik warga kita relatif gampang menjangkaunya. Tapi banyak lahan di KBU dikuasai BUMN dan warga luar. Makanya butuh duduk satu meja yang lebih intens lagi,” kata Hendy.

Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Tirtoyuliono mengatakan, saat ini 80 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan 176 pengambil air tanah.

“Dalam pengurusan izinnya, kami persyaratkan berbagai hal. Misalnya untuk pengambil air, kami wajibkan membuat sumur imbuhan. Izin harus diperpanjang per tahun. Untuk pemegang IUP, harus menanam bibit pohon,” kata Bambang.

Saat ini, Dinas ESDM sedang berfokus mengubah imej pertambangan sebagai ‘perusak’ alam tapi juga berpihak pada lingkungan.

Sementara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Epi Kustiawan mengatakan, lahan kritis hutan di KBU terdapat 3.500 hektare, jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan lahan kritis pertanian. “Tapi yang muncul di media adalah hutan gundul,” tukas Epi.

Menurutnya, tantangan terbesar dalam memulihkan KBU adalah jumlah penyuluh kehutanan yang hanya 250 orang berstatus ASN. Sementara relawan penyuluh tercatat 1.500. “Idealnya penyuluh satu orang satu desa, di Jabar ada 5.312 desa. Jangan dulu per desa, satu orang per kecamatan saja dulu, itu berarti butuh 627 penyuluh,” katanya.

Untuk itu, Dinas Kehutanan sangat mengandalkan kelompok-kelompok pertanian yang eksis di KBU. Seperti pada penanaman 17.150 pohon yang ditanam Senin (9/12/19) lalu oleh Gubernur Ridwan Kamil, 10.000 pohon dikelola oleh tiga kelompok tani, sementara sisanya diberikan langsung kepada warga.

“Kelompok tani ini harus menularkan ilmunya kepada masyarakat sekitar. Mencari inovator di desa itu susah paling tiga empat orang, tapi merekalah yang kami andalkan. Dari segelintir inovator itu nanti akan muncul early adopter, dari asalnya tiga orang menjadi 15 orang. Dari early adopter nanti berkembang menjadi _early majority_,” katanya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *